Minggu, 03 Juni 2012

Kutipan Novel


KUBAH
Oleh : Ahmad Tohari

Dia tampak amat canggung dan gamang. Gerak-geriknya serba kikuk sehingga mengundang rasa kasihan. Kepada komandan Karman membungkuk berlebihan. Kemudian dia mundur beberapa langkah, lalu berbalik. Kertas-kertas itu dipegangnya dengan hati-hati, tetapi tangannnya bergetar. Karman merasa yakin seliruh dirinya ikut terlipat bersama surat-surat tanda pembebasannya itu. Bahkan pada saat itu Karman merasa totalitas dirinya tidak semahal apa yang kini berada dalam genggamannya.
Sampai di dekat pintu keluar, Karman kembali gagap dan tertegun. Menoleh ke kiri dan ke kanan seakan ia merasa sedang ditonton oleh seribu pasang mata. Akhirnya dengan kaki gemetar ia melangkah menuruni tangga Gedung Markas Komando Distrik Militer itu. Terik matahari langsung menyiram tubuhnya begitu Karman mencapai tempat terbuka di halaman gedung. Panas rumput dan tanaman hias yang tak terawat tampak kusam dan layu. Banyak daun dan rantingnya yang kering dan mati. Debu mengepul mengikuti langkah-langkah lelaki yang baru datang dari pulau B itu.
Dari jauh Karman melihat lapisan aspal jalan raya memntulkan fatamorgana. Atap seng gedung olahraga di seberang jalan itu berbinar karena terpanggang panas matahari.
Karena kegamangan belum sepenuhnya hilang, Karman berhenti di dekat tonggak pintu halaman. Tubuhnya terpayungi oleh bayang pohon waru yang daun-daunnya putih karena debu. Karman makin terpana. Dua belas tahun yang lalu suasana tak seramai itu. Mobil-mobil, Sepeda motor dan kendaraan lain saling berlari serabutan. Anak-anak sekolah membentuk kelompok-kelompok di atas sepeda masing-masing. Mereka bergurau sambil mengayuh sepeda dan semua bersepatu serta berpakain baik sangat berbeda dengan keadaan ketika Karman belum terbuang selama dua belas tahun di pulau B.
Karman masih terpaku di tempatnya. Kedua matanya disipitkan. Dilihatnya banyak gedung baru bermunculan. Gedung-gedung lama dipugar atau diganti sama sekali. Oh kota kabupaten ini benar-benar sangat berubah, pikirnya. Dan anehnya perubahan yang tampak meratu di depan mata itu membuat karman merasa makin terasing. Sangat jelas terasakan ada garis pemisah yang tajam antara dirinya dengan alam sekitar. Ia merasa tidak menjadi bagian dari bumi dan lingkungan yang sedang dipijaknya. Karman merasa dirinya begitu kecil; buka n apa-apa. Semut pun bukan. Ya tentu saja. Aku kan hanya seorang bekas tapol, tahanan politik, begitu Karman berkali-kali meyakinkan dirinya.
Lelaki itu masih belum mampu beringsut dari bawah bayangan pohon waru. Ia tidak sadar, Komandan kodim memperhatikannya dari dalam gedung. Pak Komandan menduga ada sesuatu yang menyebabkan lelaki itu tidak bisa segera meneruskan perjalanan ke kampungnya. Padahal surat-surat resmi sebagai bekalnya kembali ke tengah masyarakat sudah cukup. Sudah lengkap, Pak komandan tahu pasti, maka perwira itu menggapai ajudannya.
Temui orang yang baru tiba dari Pulau B itu. Dia masih berdiri di pintu halaman. Suruh dia cepat meneruskan perjalanan atau berilah dia dua ratus rupiah, barangkali ia kehabisan bekal. Siap..
Ajudan keluar langsung melangkah ke arah Karman yang masih berdiri bingung karena tak yakin apa yang sebaiknya dia lakukan. Kesadaran Karman benar-benar ada di luar dirinya. Maka ia tak mendengar suara langkah sepatu tentara yang sedang mendekat. Ketika ajudan yang berpangkat sersan itu menepuk pundaknya, Karma terkejut.  Darah lsngsung lenyap dari wajahnya. Sikap santun pak Sersan tidak mampu menepis rasa sakit yang mendadak mencekeram hati Karman.
Karman sedikitpun  tidak memperhatikan lembaran uang yang ditawarkan oleh sersan itu. Ia masih tercengang.’’ Oh untunglah komandan bukan memanggilku untuk diperiksa kembali pikir Karman. Bibirnya gemetar,setelah detak jantungnya mereda, Karman berkata tergagap.
‘’ Oh terima kasih Anu. Baik saya akan meneruskan perjalanan. Terima kasih uang jalan sya masih ada.”
Dengan cara menekuk punggung dalam-dalam, Krman meberi hormat kepada Pak sersan, kemudian ia memutar tubuhnya dan berjalan beberapa langkah sampai ke gili-gili dan berhenti. Termangu. Lalu lintas dihadapannya terlalu sibuk dan asing baginya. Namun ia harus menyeberang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar